Pendidikan Pancasila Pasal 34 ayat 1

Kurang Berjalannya Pasal 34 Ayat 1 Dalam Masyarakat.

Jika kita membaca dan memahami pasal 34 ayat (1) UUD 1945, maka akan berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”.Namun faktanya banyak fakir miskin dan anak terlantar dipinggirkan oleh Negara bahkan dilirikpun tidak. Negara pura-pura buta melihat banyaknya fakir miskin dan anak-anak terlantar yang menjadikan jalanan menjadi tempat bermain, tempat mencari makan dan tempat yang begitu berbahaya, bahkan mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan dan tempat yang layak hidup. Negara seolah-olah pura-pura buta akan kehidupan rakyatnya, pura-pura buta huruf untuk tak bisa membaca dan memahami kalimat pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut.
Alih-alih memelihara fakir miskin dan anak terlantar, Negara lebih memilih memelihara para koruptor, para mafia pajak, para penghisap keringat rakyat dan para penghisap kekayaan Negara, Yang justru merugikan Negara sendiri.
Para fakir miskin dan anak terlantar bertahan hidup dengan dalam kerasnya dunia dengan mengamen, menjadi pengemis, pedagang asongan bahkan mencuri mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup. Apakah itu salah mereka ? , yang paling bersalah atas semua ini seharusnya Negara, yang tidak menjalankan perannya dengan baik.
Alangkah baiknya Negara bisa membuka mata untuk melihat kehidupan sekitar yang telah dikesampingkan, kehidupan para fakir miskin dan anak terlantar. Mengulurkan tangan untuk memelihara mereka ditempat yang lebih layak, memberikan mereka ruang untuk mengenyam pendidikan dan tempat untuk mereka bermain.
Seandainya itu terwujud alangkah indahnya hidup ini melihat senyuman dan kebahagiaan mereka.
Bukti kurang berjalannya pasal 34 ayat 1 dalam masyarakat adalah sebagai berikut :

1)   Masih banyaknya anak-anak yang mengamen, mengemis, mengasong, bahkan mencopet.
Mari berkaca pada realita , saat berhenti di lampu merah, seorang bocah berjualan koran, seorang bocah menyuarakan suara parau nya, bahkan juga ada fakir yang meminta-minta.
Sadarkah? Saking miskinnya mereka, mencopet mereka jadikan sebagai hobi, mengasong pun mereka tetap dikejar-kejar para patroli!.
Mereka tidak berpendidikan, mereka tidak punya uang untuk sekolah, mereka tidak punya uang makan yang bergizi, tak punya uang tinggal di rumah mewah.
Mereka di bodohi, mereka dililit hutang, mereka tinggal di kolong jembatan, mereka menjadi penghias kota indah dan gemerlap kelap kelip ketika malam tiba. Malam tak menjadikan mereka beristirahat, mereka tetap berpikir bagaimana cara agar esok hari dapat rezeki, dapat sesuap nasi!.
Di peliharakah mereka oleh negara?
“tidak!”
“tidak sama sekali”.
Lihat koruptor! Keluar dari penjara masih bugar adanya, wajah semakin kinclong saja, badan semakin semangat, adakah rencana lagi seusai keluar penjara?.
Lihat koruptor, sepertinya mereka lah yang dipelihara oleh negara!.



2)   Masyarakat miskin di Indonesia mencapai 28 juta jiwa.
Saat ini jumlah masyarakat miskin sebanyak 28 juta atau 11,3 persen. Jumlah masyarakat miskin paling banyak terdapat di Papua, Papua Barat dan NTT. Di sana 30 persen masyarakatnya masih miskin.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam pasal 34 ayat 1 dinyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Dengan berdasar pada pasal UUD 1945 ini saja sejatinya bahwa dimuka bumi pertiwi nusantara ini tidak boleh ada seorangpun rakyat yang penghidupannya tidak layak atau berada di garis kemiskinan. Kalaupun ada seorang rakyat yang miskin maka kewajiban negara melalui pemerintah untuk memeliharanya (dalam jangka pendek) serta berusaha untuk membuatnya kembali menjadi sejahtera (dalam jangka panjang).
Faktanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,07 juta orang atau 11,37%. Angka kemiskinan ini tentu melebihi target yang disepakati oleh Pemerintah dan DPR dalam APBN-P 2013 dimana angka kemiskinan ditetapkan sebesar 10,5%.
Layaknya pelari yang terseok mencapai garis finis, begitulah kinerja pemerintah kini. Berbagai target yang sebelumnya digembar-gemborkan kini direvisi atau dikatakan sulit dicapai.
Yang terbaru ialah target penurunan angka kemiskinan. Menteri Perencabaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana pada Senin (16/9) mengungkapkan target penurunan tingkat kemiskinan baik tahun ini maupun tahun depan sama-sama sulit dipenuhi.
Tahun ini pemerintah mematok tingkat kemiskinan 9,5% - 10 % dari populasi. Untuk tahun depan, pemerintah mengajukan target sebesar 9%-11% atau 11,3% dari populasi. Padahal, target awal tingkat kemiskinan 2014 ialah 9%-10% dari total populasi. Angka baru diajukan pemerintah dengan alasan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat dan inflasi yang lebih tinggi.
Target baru itu pun dinilai sebagian pihak belum realistis. Tahun ini saja kemiskinan sebenarnya diperkirakan bisa mencapai antara 12% dan 13%.
Melesetnya target angka kemiskinan sebenarnya bukan sesuatu yang bisa dimaklumi. Pasalnya, baik program, badan, maupun anggaran untuk penanggulangan kemiskinan terus digelontorkan.
Meski sudah memiliki Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), pada 2010 pemerintah membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Setahun setelahnya pemerintah membuat enam program prorakyat baru untuk menanggulangi kemiskinan. Program itu di antaranya program rumah, listrik, dan angkutan umum murah; program peningkatan kehidupan nelayan; serta program peningkatan kehidupan masyarakat pinggir perkotaan.
Selain itu, pemerintah sebelumnya memiliki program bantuan operasional sekolah, bantuan siswa miskin, jamkesmas, program keluarga harapan, bantuan langsung sementara masyarakat, hingga program nasional pemberdayaan mandiri.
Pemerintah juga seolah menunjukkan kesungguhannya memerangi kemiskinan lewat angka anggaran bantuan sosial yang terus naik. Pada 2011 anggaran untuk bantuan sosial untuk penanggulangan kemiskinan mencapai Rp71,1 triliun, lalu naik menjadi Rp75,6 triliun pada 2012, dan naik lagi menjadi Rp82,5 triliun tahun ini.
Namun, benarkah dengan angka dan program-program itu pemerintah sudah berlari kencang? Jika kita membandingkan dengan total APBN, nyatanya persentase anggaran bantuan sosial itu justru turun.
Anggaran untuk bantuan sosial dan angka kemiskinan pada 2011 hanya 8% dari APBN tahun itu. Pada tahun berikutnya hanya 7,5%, kemudian turun lagi menjadi 6,9% pada 2013.
Kesungguhan pemerintah dalam mengurangi kemiskinan juga dipertanyakan.
Sejumlah program, misalnya program BLSM, sering dikritik sarat kepentingan politis.
Alangkah aneh di negara yang kaya raya dengan hasil-hasil alamnya ini, ternyata kemiskinan masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan dan dituntaskan oleh Pemerintah. 
Bila kita mengevaluasi kinerja Pemerintah berdasarkan pada pasal 34 ayat 1maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Republik Indonesia semenjak masa Orde Lama, kemudian Orde Baru hingga Orde Reformasi saat ini, belum dapat memenuhi amanat konstitusi UUD'45 untuk memakmurkan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, yang bebas dari kemiskinan. Faktanya masih banyak saudara-saudara kita sebangsa setanah air yang hidup dalam kemiskinan (bahkan dibawah garis kemiskinan) dalam negara yang kaya raya dan telah merdeka selama 68 tahun ini.

Share this article :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SofyanEffendi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger